Kemunafikan Politis Pasca-Jokowi: Belajar Menerima Kritik Publik

images (14)

Hampir setahun setelah Presiden Joko Widodo mengakhiri masa jabatannya pada Oktober 2024, refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia tetap relevan. Mungkin masih bisa diingat oleh publik, telegram Kapolri di masa pandemi Covid-19, yang memerintahkan penindakan terhadap pihak yang dianggap menghina presiden dan pejabat negara. Kebijakan itu memicu kecemasan, membuat masyarakat ragu untuk sekadar mengeluh.

Banyak ahli dan politisi menyesalkan telegram tersebut, menyebutnya ancaman bagi demokrasi. Kebijakan itu dianggap mencerminkan sikap anti-kritik, bahkan otoriter. Padahal, sinisme masyarakat sering kali lahir dari kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang dianggap keliru. Di sisi lain, “jejak digital” berupa video pernyataan Jokowi yang mengaku terbuka terhadap kritik, bahkan yang pedas, sempat viral. Namun, pidato “Saya akan lawan!” saat kampanye di Yogyakarta pada 2019 menunjukkan sisi lain: pemimpin yang kini tampak menolak kritik sebagai ancaman, bukan bahan evaluasi.

Tulisan ini mengajak kita merenungkan tiga hal: (1) idealisme yang harus dipegang elit politik dalam demokrasi, (2) peran publik dalam mengevaluasi penguasa, dan (3) hipokrisi politik yang muncul saat janji bertabrakan dengan kenyataan.

Demokrasi dan Janji yang Tak Selalu Terpenuhi

Demokrasi menuntut keterbukaan dan kejujuran. Saat kampanye, elit politik menawarkan citra ideal: jujur, adil, peduli rakyat. Namun, setelah berkuasa, banyak yang gagal memenuhi janji. Menurut pakar psikologi dan politik, elit politik sering kali menyampaikan argumen tanpa data valid untuk menutupi kekurangan. Publik, yang mengharapkan kejelasan, kerap tidak menyadari bahwa janji-janji ini hanyalah topeng. Di era Jokowi, janji-janji besar sering menjadi bahan evaluasi publik, menguji kekuatan demokrasi kita.

Publik Kritis dan Jejak Digital yang Abadi

Rakyat berhak menilai penguasa. Lawan politik, aktivis, hingga masyarakat umum membandingkan janji kampanye dengan kenyataan. Ketika janji tak terpenuhi atau informasi ternyata keliru, kekecewaan muncul. Reaksi beragam, dari kritik tajam hingga cemoohan seperti “pendusta” atau “janji kosong.” Di media sosial, kekecewaan ini menjadi cibiran yang tak berhenti. Setiap tindakan elit terekam sebagai “jejak digital” yang kejam, seperti kontradiksi Jokowi antara “terbuka kritik” dan “Saya akan lawan.”

 

Hipokrisi Politik: Fakta yang Tak Terhindarkan

Hipokrisi politik adalah ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan. David Runciman, dalam Political Hypocrisy: The Mask of Power, menyebutnya sebagai klaim konsistensi yang ternyata tidak konsisten. Michael Gerson, wartawan politik Amerika, menyebutnya sebagai “topeng untuk menipu publik demi keuntungan politik.” Runciman menegaskan bahwa hipokrisi adalah bagian alami demokrasi, dan politisi yang mengklaim bebas darinya justru paling berbahaya. Pertanyaannya, seberapa besar dampak hipokrisi ini?

Demokrasi yang Lebih Dewasa

Tulisan ini tidak menuding pihak tertentu berbohong, melainkan menegaskan bahwa hipokrisi adalah fakta politik dalam demokrasi. Yang tak boleh dilupakan adalah hak publik untuk mengevaluasi penguasa tanpa takut dibungkam. Kritik pedas atau cemoohan, selama tidak mengarah pada kekacauan, adalah bagian dari demokrasi. Membungkamnya, seperti tersirat dari telegram Kapolri di masa lalu, menunjukkan sikap otoriter.

 

Dalam psikologi politik, istilah seperti “hipokrisi” dan “kebohongan politik” digunakan untuk memahami perilaku elit. Menolak fakta ini sama dengan menolak ilmu pengetahuan. Pasca-Jokowi, elit politik harus belajar menerima sinisme sebagai cermin evaluasi. Demokrasi yang dewasa memberi ruang bagi kritik, refleksi, dan perbaikan—tanpa topeng, tanpa ancaman.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *